Tunggu-tunggu. Mungkin hampir semua orang tahu kalau Jakarta itu macet, penuh, kotor, kacau, banjir, penuh koruptor, dan semua hal kacau lain yang mungkin tidak pernah dibayangkan orang sebelumnya. Dan mungkin belum semua orang tahu, kalau jakarta itu penuh basa-basi, yang kaya selalu kaya dan yang miskin tambah miskin. Mungkin juga sudah menjadi rahasia umum kalau orang desa selalu silau oleh Jakarta, mau melakukan apa saja demi tinggal di Jakarta.
Jakarta, oh Jakarta. Kota yang semrawut, macet, sangat tidak amat sekali untuk sebuah keluarga. Tidak ada taman dimana anak-anak bisa berjumpalitan seenak mereka tanpa takut cedera dan saya maksud bukan taman kota artificial yang untuk mencapainya saja perlu 2 jam karena macet di jalan. Yang ada anak-anak tanpa berjumpalitanpun sudah pasti capek di jalan. Yang saya maksud ya itu, taman atau apapun namanya yang ada di setiap sudut kota sehingga untuk mencapainya tiap orang hanya menghabiskan paling lama 10 menit dengan sepeda atau kalau sepeda terlalu muluk untuk Jakarta, bisa dengan naik motor yang abunya kotor dan suka mengekor-ekor.
Jakarta, apa karena semua kebusukannya lantas saya jadi enggan kesana. Duh, tentu saja tidak. Saya bukan orang yang rela meninggalkan semua kekacauan itu ternyata. Bukan karena saya sok cinta Jakarta dan sok nasionalisme (apa pula ini artinya). Tapi sungguh saya salut kepada orang-orang yang memilih untuk tidak macet, semua hidup teratur, tidak banjir dengan anak-anak berjumpalitan dimana-mana tapi jauh dari teman dan keluarga. Sebut saya cengeng dan melankolis, tapi entah kenapa saya percaya kalau keluarga dan teman adalah hal penting dalam hidup. Bisa gila saya kalau bertahun-tahun tidak pernah bertemu keluarga. Apa jadinya anak-anak saya kalau mereka tidak kenal kakek nenek mereka, paman mereka, bude mereka, sepupu mereka, eyang uyut mereka.
Sebut saja saya tidak keras kemauannya. Tidak punya jiwa merantau atau apalah namanya. Tapi saya akan pusing tujuh keliling kalau lama-lama tidak bersama keluarga. Hidup hanya dengan suamu dan anak-anak, yang tetap pergi berlibur disini meski eyang saya meninggal disana. Kegilaan yang kerap terjadi tanpa saya bisa berbuat apa-apa. Tidak pernah terlibat kedang keriaan disana dan juga kesedihan yang ada. Hidup soliter mengejar keteraturan dan rasa mapan.
Apalagi saya memang termasuk orang sangat lamban dalam berteman. Bisa butuh waktu bertahun-tahun hanya mendapat sedikit teman. Bisa juga hanya berteman dengan satu orang dalam bertahun-tahun. Parah memang. Lalu apa jadinya saya terdampar disini. Bisa-bisa sampai tua saya hidup dengan sedikit teman. Yang saya maksud benar-benar teman. Teman. Bukan hanya "teman".
Belum lagi masalah ide-ide, eksistensi, kemauan, dan jalan. Duh, apapula ini. Itu masalah yang berat buat saya. Saya tidak mau hanya hidup tanpa melakukan apa-apa. Sampai tua hanya mengurusi cucian yang menumpuk, setrikaan yang menggunung, lantai yang perlu di-vacuum. Hoohoo, bisa pusing saya. Dan ini bukan masalah karir lagi ya, saya sudah membuang jauh-jauh pemikiran karir di perusahaan besar dengan baju yang rapi dan wangi dan rambut yang tertata rapi. Tapi ini hanya masalah apa yang akan dilakukan dalam hidup. Besar kecil bukan masalah. Yang penting bisa berguna untuk orang banyak, keluarga dan memberi rasa lain pada diri sendiri.
Banyak pula urusan-urusan terbengkalai disana. Berpura-pura semua baik-baik saja. Padahal hanya kelihatan baik-baik saja. Alias tidak terurus kalau pun diurus hanya seadanya. Tidak diakhiri dengan rasa senang dan puas dan usaha yang maksimal (haha, apa juga ini urusannya).
Satu lagi! Orang tua saya masih disana. Alhamdulillah hidup sehat. Semoga tetap sehat. Tapi saya sangat ingin berada disana bersama orang tua, pada saat mereka tidak sehat dan membutuhkan saya. Bisa gila kalau saya tidak ada pada saat meraka butuh saya.
Entahlah, ternyata hidup saya masih disana. Jakarta, oh Jakarta.
0 comments:
Post a Comment