skip to main | skip to sidebar

About me

My Photo
yusi manfluthy
Houston, United States
perempuan yang banyak maunya, beranak dua, tergila-gila dengan kerajinan dan kain Indonesia, always drooling on vintage stuff dan barang tua, pernah melukis dan berjanji akan melakukannya lagi, sangat ingin keliling Indonesia, penikmat aromatheraphy, flowers in the window, sushi, maki, tea, camping dan film Indonesia berkualitas. sangat suka pergi ke pasar tradisional, pasar loak, pasar malam, dan jogja.
View my complete profile

Labels

  • abi
  • aku dan Tuhanku
  • batik
  • cerita masa kecil
  • fiksi
  • film Indonesia
  • goedang nenek
  • home decor
  • its my space
  • jakarta oh jakarta
  • jalan-jalan
  • joGja
  • just another thought
  • lea's milestones
  • parenting
  • screenwriting
  • sekolah anak
  • The Slamet's at US

..story..thought..life..

  • ► 2011 (11)
    • ► October (5)
    • ► September (1)
    • ► July (2)
    • ► April (2)
    • ► January (1)
  • ► 2010 (7)
    • ► September (1)
    • ► March (4)
    • ► February (2)
  • ► 2009 (23)
    • ► October (2)
    • ► September (3)
    • ► August (4)
    • ► July (7)
    • ► June (1)
    • ► May (1)
    • ► March (1)
    • ► February (3)
    • ► January (1)
  • ► 2008 (29)
    • ► December (5)
    • ► November (10)
    • ► October (7)
    • ► September (2)
    • ► August (1)
    • ► July (1)
    • ► June (1)
    • ► May (2)
  • ► 2007 (7)
    • ► October (1)
    • ► September (2)
    • ► May (2)
    • ► February (1)
    • ► January (1)
  • ► 2006 (15)
    • ► December (3)
    • ► November (3)
    • ► October (3)
    • ► July (1)
    • ► June (2)
    • ► May (2)
    • ► January (1)
  • ▼ 2005 (4)
    • ▼ December (1)
      • Citra, antara tradisi dan revolusi
    • ► July (2)
    • ► June (1)
  • ► 2002 (1)
    • ► March (1)

my counter!


View My Stats

my place my space

..it's about dream, thought, family, and life..

Citra, antara tradisi dan revolusi

Saturday, December 10, 2005

Saya seperti sangat ketinggalan jaman, entah karena apa saya seperti terlambat tahu kalau penyerahan piala Citra adalah malam ini. Hmm, berusaha mengingat-ngingat kemana saja saya beberapa hari terakhir ini, entah karena jarang menghidupkan TV, entah karena frekuensi browsing yang menurun drastis, entah memang karena kurangnya publikasi acara itu sendiri. Atau mungkin karena banyak pula orang yang tidak perduli.

Saya bukan orang film, bukan pemain, sutradara, crew, produser, atau orang yang berlatar belakang film. Saya hanya penikmat film, film Indonesia, yang bermutu tentunya. Saya rela mengatri (atau justru tidak ada antrian karena sepi) pada hari pertama pemutaran film Indonesia, sekali lagi untuk film Indonesia yang berkualitas tentunya.

Kembali ke Citra, yang sejak jaman Teguh Karya, Christine Hakim, Rano Karno, hingga sampai saat ini, saat orang-orang mengidolakan Nicholas Saputra (ehm, termasuk saya) merupakan piala yang merupakan lambang keberhasilan para pekerja film yang berdedikasi pada film yang dibuatnya dan pada perfilman Indonesia. Bukan berarti orang yang tidak mendapat Citra tidak berdedikasi, tidak bekerja sepenuh hati, bukan, jelas bukan itu! Toh pada akhirnya Citra hanya sebuah pilala yang seharusnya memacu para sineas untuk terus berkarya. Seharusnya.
Beberapa senangnya saya, ketika tahun lalu FFI kembali diselenggarakan dengan segala keterbatasan (atau kericuhan) dalam pelaksanaannya. Tapi saya tidak perduli, bagi saya FFI kembali diadakan saja sudah merupakan keajaiban besar. Tapi tahun ini berbeda, saya mengikuti hampir setiap film Indonesia yang beredar di pasaran, meski tidak semua saya tonton, karena menurut saya tidak semua film layak tonton.


Tahun ini lain, karena pada tahun ini saya berharap lebih atas sebuah Festifal Film Indonesia. Saya sangat menyayangkan pelaksanaan FFI yang ternyata hanya begitu-begitu saja. Saya sangat mengerti dengan segala keterbatasan panitya pelaksana atau apalah namanya. Apalagi dengan dalih ini baru pelaksanaan FFI yang kedua yang dilaksanakan setelah 12 tahun mati suri. Tapi bagi saya FFI tahu kedua, ketiga, keempat, kelima atau tahun-tahun selanjutnya tidak akan jauh berbeda. Apalagi FFI masih saja berwajah lama, berkonsep lama, tidak ada perubahan antara FFI yang dilaksanakan 12 tahun yang lalu dengan FFI tahun ini. Masih memakai konsep yang sama, susunan acara yang sama, detail yang sama, yang berubah mungkin hanya munculnya muka-muka sineas muda, baik itu produser, sutradara, pemain film, yang sekarang ikut merasakan Festival Film Indonesia.

Sekali lagi saya tidak bermaksud menggurui, ataupun mengajari, saya hanya seorang penikmat film yang merasa seharusnya FFI bisa lebih baik lagi. Disadari atau tidak, selama 12 tahun banyak perubahan terjadi, begitu pula di dunia perfilman, tapi mengapa tidak di FFI?
Sangat disayangkan, munculnya sineas-sineas muda yang berkualitas tidak dibarengi dengan lahirnya bentuk baru perfilman Indonesia dan pelaksanaan FFI itu sendiri. Sangat disayangkan, dimana FFI tercatat sebagai festifal film di dunia yang tidak menayangkan 1 judul film apapun dalam festivalnya. Entah apa yang salah, tapi saya kira sudah saatnya FFI berubah, sebelum FFI semakin hilang gregetnya.


Satu pekerjaan rumah yang penting yang selama ini luput dan terasa sulit dilakukan, yaitu dengan memasyarakatkan film Indonesia itu sendiri. Sangat menyedihkan pada hari pertama penayangannya, salah satu film Indonesia diputar di bioskop, hanya beberapa kursi saja yang terisi.

Saya kira dengan dilaksanakannya FFI yang benar-benar menayangkan film-film Indonesia, entah itu nominasi-nominasi film bioskop, film televisi ataupun film dokumenter, diharapkan mampu lebih memasyarakatkan film Indonesia itu sendiri. Dari segi fasilitas, kita sudah mampu menggelar sebuah festival film yang sebenarnya. Sebagai contoh untuk festival yang lebih kecil saja, Jiffest sudah bisa melakukan konsep ini bertahun-tahun lamanya. Pasti akan berbeda rasanya terlibat disebuah festival film, menonton film di festival, mengikuti “bedah film” yang digelar, atau bahkan hanya dengan meminta tanda tangan gratis dari para pekerja film yang berkeliaran di festival itu. Dan akan berbeda pula rasanya, karena pada saat itu penyerahan Piala Citra adalah puncak dari semua acara yang ada bukan hanya seremonial belaka.

Sudah saatnya penyerahan Piala Citra dikemas dengan lebih menarik, lebih “muda” dan lebih hidup. Lagipula film adalah sesuatu yang dinamis, berubah dan berkembang.

Mengapa tidak dengan Citra?
Sebelum Citra kehilangan gregetnya dan sebelum hanya mengandalkan kedatangan selebriti yang berdandan lebih rapi, lebih stylish dan lebih cantik.


Semoga itu semua bukan hanya sekedar harapan, sama halnya dengan harapan saya agar LSM lebih terbuka atas setiap perubahan, bahwa sensor tidak harus membatasi kreatifitas. Dan semoga semua bukan sekedar harapan, semoga kita semua terbuka atas sebuah perubahan.
Semoga saat itu terjadi, saya tidak akan terlambat lagi mengetahui bahwa penyerahan Citra hanya tinggal malam ini.

Posted by yusi manfluthy at 11:34 PM 0 comments  

Labels: film Indonesia

Newer Posts Older Posts Home
Subscribe to: Posts (Atom)

Blog Design by Gisele Jaquenod